Titik Balik
“Hey Look Ma, I Made
It”
…
…
Nata memandangi sebuah foto sambil tersenyum dihadapan
jutaan pasang mata yang tertuju padanya. Berdiri di atas panggung besar, Nobel
Awards di Norwegia sebagai penemu yang menciptakan perubahan pada dunia sains.
Tidak banyak yang dia sampaikan, selain ucapan terimakasih dan memandangi
sebuah foto berbingkai kayu tua. Sebuah pencapaian yang sangat membanggakan
bagi seorang pria yang kini berkepala empat. Kemudian sebuah ingatan terlintas
dipikirannya, sebuah kilas balik mengenai perjuangan yang tidak akan pernah
terlupakan.
…
…
…
34 tahun yang lalu…
“Baiklah silahkan
perkenalkan diri kalian masing-masing di depan kelas, silahkan sebutkan nama,
asal sekolah, tempat tinggal, dan hobi.”
“Absen satu, silahkan
maju ke depan.”
Langkah
kaki berat malu-malu melangkah ke depan. Pikirannya kosong saat ini, ini
pertama kalinya dia berdiri di depan teman kelas barunya. Meninggalkan teman
sekolah dasar yang telah bersama selama enam tahun, lalu mencoba berteman
dengan orang baru itu bukan hal yang mudah. Terutama bagi dia.
“Perkenalkan nama saya Pradinata
Rama Syahputra, saya berasal dari SDN 04 Cilampat, tempat tinggal saya di Desa
Grobah Kecamatan Cilampat, hobi saya… hobi saya membaca.”
Sebuah
perkenalan yang klasik memang, walaupun dengan sedikit bumbu kebohongan. Kenyataannya, yang
namanya manusia tidak akan terlepas dari membicarakan orang lain,
menilai sesuatu berdasarkan luarnya saja. Beberapa murid mulai saling berbisik,
bukan hanya murid perempuan, tetapi juga murid laki-laki. Bagaimana tidak,
seseorang yang sedang berada di hadapan mereka saat ini terlihat seperti
seorang preman sekolah. Wajah coklat sawo matang khas nusantara dengan kumis
dan janggut, tidak mungkin seorang murid normal akan berpenampilan seperti itu.
“Hey hey sudah diam, apa
ada yang ingin ditanyakan?” ucap seorang guru memecahkan suasana. Setidaknya
itu membuat Nata lega. Namun, tidak ada seorang muridpun yang bertanya.
Kemudian dia kembali ke tempat duduknya kembali. Dengan hati yang tak karuan
pastinya, karena ini akan menjadi hari pertama sekolah yang panjang dan berat.
…
…
…
“Sudah pulang nak? Tadi
Ibu kamu telpon loh. Tapi kamunya belum pulang, jadi umi bilang nanti untuk
telepon lagi.”
“Sudahlah Mi, aku cape.
Lain kali aja.”
Nata
masuk ke kamarnya, menutup gorden pintu dan melemparkan tas ke atas kasur.Kemudian
dia berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Perempuan yang tadi berbicara
adalah Neneknya, Umi Jumailah namanya. Dia yang selama ini merawat Nata dan
adiknya, yang sudah tinggal bersama kakek dan neneknya, karena kedua orang
tuanya telah bercerai semenjak dia kecil, dan Ibunya pergi ke Hongkong sebagai
Pembantu Rumah Tangga. Nata yang dulu hanya seorang anak kecil yang belum
mengerti apa-apa, tidak pernah menanyakan mengenai Ibunya. Tapi kini dia
bukanlah anak kecil lagi, dia sudah cukup pintar untuk membandingkan apa yang
dia punya dengan apa yang orang lain punya, dan itu membuatnya sering merasa
sedih. Pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa harus dia, apa salah dia, kenapa
hanya dia, dan lainnya selalu mengganggu pikiran Nata.
Sebal
dengan pikirannya sendiri, Nata pergi keluar rumah. Berjalan menyusuri jalan
raya di depan rumahnya. Dia berhenti di depan warnet tempat biasa yang dia
kunjungi untuk mengalihkan pikiran-pikirannya.
“Pak biasa paket sore
sampai malam.”
“Lagi? Kamu ini
harusnya jangan kesini terus. Kasian Ibumu cape-cape kerja di luar sana.”
“Sudahlah Pak, sudah
cape disana diomeli disini diomeli, cepet paketin Pak”
“Iya-iya”
Semua
orang sudah tahu kondisi Nata, terutama orang-orang di desanya. Tak sedikit
dari mereka sering menasehati Nata, Namun Nata sudah muak dengan semua itu,
yang dia butuhkan adalah orang tua, bukan uang.
…
…
…
Sudah
dua minggu sejak hari pertama sekolah dimulai. Seperti biasa, tidak banyak yang
berteman dengan Nata, kecuali murid-murid nakal lainnya. Bahkan ketua kelas dan
teman sekelas lainnya tidak berani mendekati Nata, jangankan mendekati, menatap
matanya saja tidak.
Sekolah
sudah usai, Nata pulang dengan berjalan kaki. Tidak seperti murid lainnya yang
menggunakan sepeda ataupun sepeda motor. Pikirannya lagi-lagi berkecamuk
seperti biasa.
“Sudah pulang nak? Itu
ada koper dari Ibumu, katanya sih mau pulang. Jadi kirim kopernya dulu, tapi
gak tahu kapan pulangnya. Masih belum tentu”
“Terus ngapain ngasih
tahu? Koper gak guna.”
“Jangan begitu nak,
coba kamu lihat buku yang ada di kasurmu itu. Itu milik Ibumu yang dikirim
melalui koper.”
Nata melangkah kedalam kamar. Melepaskan tas yang ada
dipunggungnya, kemudian mengambil buku yang ada di atas kasur. Tidak dibaca
bahkan tidak dibuka, Nata melemparnya ke pintu lemari cukup keras. Lalu membuat
buku itu terbuka. Dari kejauhan Nata melihat kata-kata yang ada di buku itu.
Perlahan air matanya menetes, dia pun segera mengambil kembali buku itu dan
membacanya dari awal.
Dear
Diary,
Saat
ini aku berada di Negara orang
Jauh
dari keluarga dan anak-anakku
Apakah
aku bisa bertahan?
Apakah
aku bisa menahan rindu yang akan datang?
Tuhan
aku memohon pertolonganmu…
Dear
Diary,
Sudah
satu tahun aku disini
Saat
ini adalah ulang tahun anak-anakku
Aku
kirim dia playstation 2
Semoga
dia suka
Oh
Tuhan aku rindu mereka
Dear
Diary,
Sudah
lama aku tidak mendengar suara anak-anakku
Ketika
ku telepon mereka sedang disekolah
Sedih
sekaligus senang rasanya
Mereka
dapat dengan semangat belajar
Ingin
rasanya berbincang dengan mereka
Terutama
di sulung Nata
Aku
yakin dia menyayangi ibunya
Dear
Diary,
Aku
ingin pulang
Aku
tidak tahan akan rindu ini
Tapi
apa daya, pekerjaanku
Mengharuskanku
jauh dari mereka
Dan
jika aku pulang
Bagaimana
mereka akan makan nanti
Oh
Tuhan beri aku petunjukmu
Dear
Diary,
Sedih
rasanya mendengar anakku sering pulang malam
Apakah
dia tidak suka dengan plasystation yang aku kirim?
Atau
dia tidak sayang kepadaku?
Tidak
mungkin kan? Dia pasti menyayangiku
Karena
dia anakku
Dear
Diary,
Kenapa
anakku sendiri tidak ingin berbicara padaku?
Apa
salahku? Siang malam aku bekerja
Bukan
tanpa letih, tapi apa yang kudapat?
Hanya
jari-jari yang semakin penuh luka
Dear
Diary,
Aku
lelah
Ingin
aku berteriak, ingin aku menangis
Tapi
aku tak kuasa, taka da air mata mengalir
Semua
terpendam dalam hati
Dear
Diary,
Anakku,
Nata.
Maafkanlah
ibumu ini nak
Ibu
tak bisa bersama denganmu
Mengikuti
perkembangan dan pertumbuhanmu
Ibu
memang bukanlah ibu yang sempurna dan baik
Tapi,
ibu ingin anak ibu memiliki masa depan yang baik
Lebih
baik daripada ibu ataupun bapakmu
Dulu
saat bapakmu meninggalkan ibu demi wanita lain
Saat
itu adikmu masih berumur delapan bulan
Ibu
tidak punya uang, jadi ibu memutuskan untuk pergi
Berat
rasanya meninggalkan kamu nak
Banyak
hal yang terjadi pada ibu yang tidak bisa ibu ceritakan
Yang
terpenting saat ini kamu dapat hidup layak
Dan
mendapatkan pendidikan yang layak pula
Karena
pemberian terbaik dari orang tua adalah pendidikan
Ibu
ingin melihatmu sukses sebagai sarjana
Memiliki
pendidikan yang tinggi dan menjadi tokoh yang penting
Pendidikan
yang tidak dapat ibu rasakan ketika ibu muda
Pendidikan
yang ibu harap dapat membuatmu menjadi lebih baik
Ingat
nak, semangatlah mencari ilmu disana kapanpun dan dimanapun
Karena
mencari ilmu disaat usiamu yang saat ini adalah yang terbaik
Dan
janganlah kamu menyerah disana
Karena
ibu juga tidak akan menyerah
Oh
Nata anakku tersayang
Nata terisak membaca buku diary tersebut, selama ini dia
hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia tidak memikirkan bagaimana perasaan
seorang ibu yang jauh dari anak-anaknya. Hidup di Negara orang lain tanpa sanak
keluarga. Nata pun berjanji, dalam tangisnya ini hilang semua rasa benci,
hilang semua keburukan-keburukan yang ada dalam pikirannya, Nata akan menjadi
seseorang yang dapat dibanggakan oleh ibunya.
Setelah kejadian itu, Nata kini terlihat lebih ceria dan
ramah. Dia menjadi rajin belajar dan sekolah, karena akhirnya dia menyadari betapa
pentingnya Pendidikan bagi dirinya, yang mana diperjuangkan oleh ibunya. Dia
tidak pernah lagi merasa kesepian, karena ibunya yang jauh di sana, kini ada di hatinya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan apabila ingin memberikan komentar asalkan sopan dan bertanggung jawab